Wilayah yang direbut Israel
Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan.
Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk
sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di
wilayah yang baru didapat
(banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut
mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km
ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara.Korban jiwa
Korban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang
berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit: 338 prajurit meninggal di
medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan
pertempuran Yordania
dan 141 di medan pertempuran Suriah.
Mesir kehilangan 80% peralatan
militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh, 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap, dan 20.000 korban luka. Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500 terluka.
Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis
baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan
dihancurkan. Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal dan sekitar 30 terluka.
Perubahan religius
Akhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah
pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki
Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan,
situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang
Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan
mereka telah dinodai.
Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit
para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan
keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan,
meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana.
Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.
Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran
yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter.
Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air
Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi
tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu
disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok warga Israel di
bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah mencapai
Pintu Gerbang Selsela.
Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh
Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil
langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di
kompleks Masjid Al-Aqsa.
Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser
Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan
menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-Aqsa. Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara
Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu.
Perubahan politik
Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967
dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel
tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan
strategik yang dapat mengubah keseimbangan wilayah.
Mesir dan Suriah
mempelajari berbagai kemungkinan taktikal, tetapi mungkin bukan yang
strategik. Mereka kemudian melancarkan serangan pada tahun 1973, dalam satu percobaan untuk menguasai kembali wilayah yang telah direbut Israel.
Keputusan Israel akan disampaikan kepada negara-negara Arab melalui
Amerika Serikat. Namun, walaupun Amerika Serikat diberitahu tentang
keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan bantuannya
untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab
itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak
pernah menerima tawaran itu.
Resolusi Khartoum
membuat ketetapan bahwa "tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau
perundingan dengan Israel". Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela,
resolusi Khartoum menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan
pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel
kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal
22 November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242.
Keputusan kabinet pada tanggal 19 Juni 1967 tidak termasuk Jalur Gaza dan oleh sebab itu, mengakibatkan kemungkinan Israel untuk memperoleh sebagian Tepi Barat secara permanen. Pada tanggal25 - 27 Juni 1967, Israel menggabungkan Yerusalem Timur bersama kawasan-kawasan Tepi Barat di utara dan selatan kedalam kawasan Israel yang baru.
Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang
menghuni di wilayah-wilayah yang direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta
orang Palestina di Tepi Barat, 300.000 melarikan diri ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang lain tetap tinggal di Tepi Barat.
Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan diri.
Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang
menerima hak kediaman Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi
wilayah tersebut pada tahun 1980.
Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing
terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan
kepada Mesir pada tahun 1978,
dan persoalan Dataran Tinggi Golan masih dirundingkan dengan Suriah).
Selepas penaklukan "wilayah-wilayah" baru ini oleh Israel, sebuah usaha
penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah
permanen Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di
wilayah-wilayah tersebut pada hari ini, walaupun penempatan-penempatan
Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan
Agustus tahun 2005.
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar