animasi-bergerak-pesawat-terbang-0028

Sabtu, 13 Juni 2015

Latar Belakang Perang Enam Hari (Arab vs Israel)

Akibat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. 

Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas, tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara
Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.


 







Nasser (Mesir), didukung oleh negara-negara Arab lainnya dengan tegas menendang Israel masuk ke laut. Gambar pra 1967. Surat kabar Al-Farida, Libanon.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. 

Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.
  
Pengangkut Air Nasional Israel

Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.

Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.
  
Israel dan Yordania: Peristiwa Samu

Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.

Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah".

Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi ke dalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyeberang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.

 






 

 

Sebuah tank Centurion Israel.

Pasukan yang lebih besar, delapan tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang dimuatkan kedalam 40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju ke arah Samu, sementara sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung terjun dan insinyur militer yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk mengebom rumah-rumah.

 Di Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu sekolah perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah rumah. Laporan berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man and the Nation yang menyatakan 50 rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah dipindahkan beberapa jam sebelumnya.

 Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang diarahkan oleh Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di barat laut Samu dan dua kompeni yang bergerak menuju timur laut telah diserang oleh Israel, ketika satu peleton Yordania yang bersenjatakan dua meriam 106 mm memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara tewas, 54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. 

Letnan kolonel batalion pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav Shaham, tewas dan sepuluh tentara lainnya cedera. Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima puluh tentara Yordania tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga moral dan keyakinan pada rezim Raja Hussein.

Dalam menghadapi kritik dari orang Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya dalam mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi nasional pada tanggal 20 November 1966. Pada tanggal 25 November 1966, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 228 dan menyesali "kehilangan nyawa dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan Israel pada tanggal 13 November 1966", mengancam "Israel karena jumlah pasukan berskala besar yang melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Yordania" dan menekan "kepada Israel bahwa tindakan balas dengan mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal tersebut, Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan tindakan yang sedemikian."
  
Israel dan Suriah

Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.

Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.

Selama kunjungan ke London pada bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menjelaskan kepada hadirin tentang "harapan dan kegelisahan" Israel, bahwa walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai 1971) sepertinya berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih perlu dilihat apakah Suriah dapat mengekang diri sehingga permusuhan dapat dibatasi hanya sampai tingkatan retorik.

Pada tanggal 7 April 1967, suatu peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara berskala besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21, yang dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga terbang melintasi Damaskus.

Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap kiri Mapai di Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak ragu-ragu untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7 April 1967 sebagai balasan terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan.

Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel memberikan surat kepada Dewan Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan "bertindak untuk mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan". Ditulis dari Tel Aviv pada tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari pemimpin Israel memutuskan untuk mengirim pasukan "yang kuat tetapi dalam kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas" terhadap Syria. Laporan itu juga mengutip "seorang pengamat yang berwibawa" yang "berkata bahwa Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali jika serangan Israel meluas".

Pada awal bulan Mei tahun 1967, kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah, namun permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat menggulingkan rezim Ba'ath ditentang oleh Eshkol.

Peristiwa di perbatasan terus bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan militer, meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba merebut kedudukan yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi Sinai. Suriah mengutarakan pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan aktif.

Intelijen Soviet memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden Mesir Anwar Sadat menyatakan bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah. Pada tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu itu terungkap pada tanggal 13 Mei 1967.

Pada bulan Mei tahun 1967, Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan Suriah juga menyatakan: "Pasukan kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi, namun untuk mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di tempat tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan... Saya, sebagai seseorang yang secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba untuk memasuki pertempuran pembinasaan."
  
Mundurnya Pasukan Keamanan PBB

U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. 

India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. 

Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.

Selat Tiran

Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik".Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apa pun." 

Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. 

Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.

Melihat hukum internasional, Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang jika negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan menganggap blokade itu sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. 

Negara-negara Arab memperdebatkan hak Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak menandatangani Konvensi PBB tentang peraturan laut terutama karana Pasal 16(4) memberikan hak tersebut kepada Israel.

Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara mengemukakan alasan bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang Mesir untuk menuntut haknya karena penutupan itu bukan merupakan "serangan bersenjata" seperti yang tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum internasional John Quigley, berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja demi mengamankan haknya untuk lewat.


Israel memperhatikan penutupan selat itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania Raya untuk membuka Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini disetujui oleh Presiden Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan, dan hanya Britania Raya dan Belanda yang menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.


 

 

 










Peta lokasi selat Tiran.

Mesir dan Yordania

Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser yang telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis"Pada akhir bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir, Jendral Abdul Munim Riad.

Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania".

Israel memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang berdasarkan kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara Arab yang hanya berjarak 17 kilometer dari pantai Israel yang merupakan suatu titik perubahan karena serangan tank akan membelah Israel menjadi dua dalam waktu 2 jam. 

Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania mungkin tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan sejarah bahwa negara ini digunakan oleh negara Arab lainnya sebagai panggung untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan dari Tepi Barat akan menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak berbatasan dengan Israel, seperti Irak, Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai menggerakkan tentara mereka.

Diplomasi dan taksiran Intelijen

Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.

 

 


 

  

Taksiran CIA yang baru dilaporkan membantah perkiraan pesimistik Israel mengenai militer Arab. Johnson, bersama Menteri Pertahanan McNamara dan petugas senior lainnya, mendengarkan Abba Eban pada tanggal 26 Mei 1967.

Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. 

Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk, Menteri Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. 

 Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung.

Sementara di sisi lain, Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan."  Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.

Pada tanggal 30 Mei 1967, Nasser membalas permintaan Johnson sebelas hari lebih awal dan setuju untuk mengirim Wakil Presiden Mesir, Zakkariya Muhieddin, ke Washington D.C. pada tanggal 7 Juni 1967 untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian diplomatik dalam "pembukaan Gedung Putih yang terlihat".

Menteri Luar Negeri Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik jika memungkinkan.Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk "marah seperti neraka" dan Johnson kemudian menulis bahwa "Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya".

Di kalangan ahli politik Israel, diputuskan bahwa jika Amerika Serikat tidak bertindak, dan jika PBB tidak dapat bertindak, maka Israel akan bertindak. Pada tanggal 1 Juni 1967, Moshe Dayan dilantik sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan pada tanggal 3 Juni 1967, administrasi Johnson memberikan suatu pernyataan yang meragukan bahwa Israel kembali dalam persiapan perang. Serangan Israel terhadap Mesir tanggal 5 Juni 1967 bermula dengan apa yang disebut sebagai Perang Enam Hari.

Tentara yang bertempur

Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimekanisasikan), juga 4 infantri independen dan 4 brigadir lapis baja independen. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. 

Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 - 20.000) masih bertempur di Yaman.Perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yang tidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. 

Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir ("kemenangan"), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.

Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.
Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil.James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, "Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel... Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan."

Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandera hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.

Sumber :Wikipedia







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar