Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi
Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.
Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser dinamika Perang Dingin.Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada bulan Januari.
Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.
Setelah kematian Joseph Stalin,
Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov.
Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin. Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.
Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov.
Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin. Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.
Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan
"New Look"
sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih
mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya di masa perang.
Dulles juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956.
Dulles juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956.
Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria
Peta negara-negara Pakta Warsawa.
Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan
sedikit lebih santai, meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif.
Soviet, yang sudah membentuk jaringan perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok
Timur pada tahun 1949,juga membentuk suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta
Warsawa pada tahun 1955.
Revolusi Hongaria 1956 terjadi
tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin Stalinis Hongaria Mátyás Rákosi.
Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan,
rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan
niatnya untuk menarik diri dari Pakta
Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang
bebas.
Tentara Soviet mulai menyerbu. Ribuan warga Hongaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet,
dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hongaria.
Pemimpin Hongaria Imre Nagy dan yang lainnya
dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia.
Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam
Barat dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh
lebih unggul daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di
Amerika atau Eropa. Namun, Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam
keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk "hidup
berdampingan secara damai".
Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan
kelas internasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada
pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang
global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk
menghadapi keruntuhannya sendiri,
dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer
mereka, yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era "pemikiran
baru" Gorbachev.
Peristiwa di Hongaria
melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa
Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan
partai. Negara-negara Barat dan komunis merasa kecewa dengan respon brutal
Soviet.
Partai komunis di Barat tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hongaria
dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak,
seperti politisi Yugoslavia Milovan
Djilas, yang menyatakan bahwa: "luka yang ditorehkan oleh
Revolusi Hongaria terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh".
Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa
Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba tahun 1959 dan sebelum perpecahan Sino-Soviet tahun 1961.
Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin
menjadi "kota yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini
membuat Amerika Serikat, Britania, dan Perancis diberi ultimatum enam bulan
untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat,
atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman
Timur.
Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao
Zedong bahwa "Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya
ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin." NATO secara
resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan Khrushchev menarik
kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.
Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa,
yang merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi,
dan militer Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai
kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente
terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan
Barat.
Persaingan di Dunia Ketiga
Gerakan nasionalis di beberapa negara seperti Guatemala,
Indonesia
dan Indocina
seringkali bersekutu dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat
dibantu oleh komunis.
Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan
persaingan mereka untuk menyebarkan pengaruh dengan cara mencari proksi di Dunia
Ketiga, dan ini bertepatan dengan momentum dekolonisasi
pada tahun 1950-an dan awal 1960-an.
Selain itu, Soviet terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.Kedua belah pihak mulai melakukan pengiriman dan penjualan senjata kepada
negara-negara Dunia Ketiga untuk mendapatkan pengaruh.
Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency
(CIA) untuk menyusup ke dalam pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk
mendukung sekutu mereka.
Pada tahun 1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax,
sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh
yang menganut prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis
Timur
Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian
Oil Company milik Britania pada tahun 1951. Winston
Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih
ke komunisme".
Shah yang
pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi,
kemudian naik jabatan sebagai monarki otokratik.
Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang aktivitas partai komunis Tudeh dan
penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan
keamanan dan intelijen dalam negeri Shah.
Di Guatemala,
sebuah kudeta militer yang
didukung CIA berhasil menggulingkan presiden sayap kiri Jacobo Arbenz Guzmán
pada tahun 1954.
Pemerintah pasca-Arbenz yang dipimpin oleh Carlos Castillo Armas
mengembalikan semua properti milik AS yang dinasionalisasi, membentuk Komite
Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan mendekritkan Hukum Pidana
Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika Serikat.
Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut
prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada ancaman besar pada awal tahun 1956,
ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut otonomi dari Jakarta.
Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk
menyingkirkan mereka yang membangkang.
Pada bulan Februari 1958, komandan militer di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Hussein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan pengaruh dari Partai Komunis Indonesia.
Pada bulan Februari 1958, komandan militer di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Hussein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan pengaruh dari Partai Komunis Indonesia.
Karena retorika anti-komunis mereka, pemberontakan mereka mendapat bantuan
senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal ini terbukti saat pesawat
Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak
jatuh di Ambon
pada bulan April 1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi
militer lewat laut dan udara melalui Padang dan Manado. Pada
akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan pemberontak yang tersisa
menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961.
Di Irak,
Abd al-Karim Qasim
menggulingkan
monarki Hashemite
pada tahun 1958 dan membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak
dan Uni Soviet.
Meskipun Partai
Ba'ath yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim,
AS mulai khawatir bahwa pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi
berantai" di seluruh Timur Tengah.
Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri, CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim (meskipun masih diperdebatkan). Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB, meskipun militer Irak juga melakukan kudeta.
Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri, CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim (meskipun masih diperdebatkan). Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB, meskipun militer Irak juga melakukan kudeta.
Perangko Soviet tahun 1961 intuk memperingati Patrice Lumumba, perdana menteri Republik Kongo.
Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut presiden Joseph Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba dan membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September. Dalam Krisis Kongo yang terjadi setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk merebut kekuasaan melalui kudeta militer.
Di Guiana Britania, kandidat Partai
Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan,
memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang
diselenggarakan pada tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan
diri dari jabatannya setelah adanya suspensi dari Britania Raya yang masih
memiliki kewenangan terhadap konstitusi negara tersebut.
Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya. Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi.
Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya. Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi.
Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut
kemerdekaan Vietnam, Perancis setuju untuk melakukan negosiasi
dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi
Jenewa, perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam
Utara yang pro-Soviet dan Vietnam
Selatan yang pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika Serikat
mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat militer untuk memperkuat rezim
pro-Barat Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang berniat untuk
mengacaukannya.
Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang
menolak tekanan untuk memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di
Indonesia, puluhan negara Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang
Dingin.
Konsesus
yang ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan
Non-Blok yang bermarkas di Belgrade
pada tahun 1961.
Sementara itu, Khrushchev memperluas kebijakan Moskow dengan menjalin hubungan
dengan India
dan negara-negara netral lainnya. Gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah
tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih pluralistik dengan diterapkannya dekolonisasi
bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat nasionalisme juga
meningkat di Asia dan Amerika Latin.
Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa
Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 1957–1975.
Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet,
terutama pecahnya aliansi Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao
membela Stalin ketika Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun
1956, dan menganggap pemimpin Soviet yang baru sebagai "pemula yang
dangkal", Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi revolusioner.
Sementara itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang
anti-perang nuklir, menyebut pemimpin Cina sebagai "orang yang gila
takhta".
Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun
kembali aliansi dengan Cina, namun Mao menolak setiap usulannya. Permusuhan Cina-Soviet ini akhirnya tumpah dalam perang propaganda
intra-komunis.Selanjutnya, Soviet mulai berfokus pada persaingan sengit dengan Cina untuk
memperebutkan posisi sebagai pemimpin gerakan komunis dunia.
Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika
Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk membangun persenjataan nuklir dan
mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa mereka pergunakan untuk
menyerang satu sama lain.
Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil meluncurkan peluru kendali balistik
antar benua pertama (ICBM),
dan pada bulan Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi pertama, Sputnik.
Peluncuran Sputnik ini menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".
Peluncuran Sputnik ini menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".
Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi
Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.
Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama
beberapa waktu setelah kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja
meninggalkan ibu kota untuk menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner
Kuba Fidel
Castro pada bulan April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard
Nixon untuk mengadakan pertemuan dengan Castro di kediamannya.
Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang komunis atau bukan. Eisenhower
juga menentang upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada
Amerika Serikat.Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa Timur pada bulan
Maret 1960.
Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara
resmi memutuskan hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961,
Presiden Amerika yang baru terpilih, John
F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi
pulau-pulau di Playa Girón dan Playa Larga di Provinsi Las Villas —
kegagalan yang mempermalukan Amerika Serikat di mata dunia.
Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-Leninisme, dan Soviet
berjanji untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada Kuba.
Krisis Berlin 1961
Krisis Berlin 1961
adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait
dengan status Berlin
dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an, pendekatan
Soviet mengenai kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian
besar negara Blok Timur lainnya.Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman
Barat setiap tahunnya melalui "celah" yang terdapat dalam
sistem antara Berlin Timur dan Berlin Barat dan dengan bantuan dari pasukan
Sekutu di Jerman Barat.
Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi
seperti kalangan profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir
20% penduduk Jerman Timur telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961.
Pada bulan Juni, Uni Soviet mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan
pasukan Sekutu
dari Berlin Barat.
Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur
mendirikan penghalang kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas
hingga kelak membentuk Tembok Berlin, yang secara
efektif menutup "celah" antara kedua wilayah tersebut.
Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev
Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet selama Krisis Rudal Kuba.
Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy
terus mencari cara untuk menggulingkan Castro,
Kennedy dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi
penggulingan pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah
program rahasia bernama Proyek Kuba, yang dirancang di
bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.
Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap
Kuba: "proyek Kuba" — disetujui oleh CIA dan menetapkan
penggulingan pemerintah Kuba pada bulan Oktober, kemungkinan melibatkan militer
Amerika — dan Kennedy mungkin memerintahkan operasi pembunuhan terhadap
Castro.
Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan rudal nuklirnya di Kuba.
Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan
akhirnya menanggapi instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan
blokade laut dan memberikan ultimatum kepada Soviet. Khrushchev mundur dari
konfrontasi, dan Uni Soviet membongkar rudalnya dengan imbalan janji Amerika
agar tidak lagi menyerang Kuba.
Krisis Rudal Kuba
(Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang
nuklir daripada sebelumnya.
Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep saling meyakinkan akan
bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap
untuk menggunakan senjata nuklir mereka, takut akan adanya kehancuran global
total karena saling balas dendam.
Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan, meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.
Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan, meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.
Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap
mengijinkannya untuk pensiun dengan damai. Khrushchev dituduh memerintah dengan kasar dan inkompetensi, dia juga dianggap
telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan membawa dunia ke ambang perang
nuklir. Khrushchev juga dikatakan telah mempermalukan dunia komunis ketika ia
meresmikan pembangunan Tembok Berlin, yang dianggap sebagai sebuah penghinaan
publik untuk Marxisme-Leninisme.
Sumber :Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar