animasi-bergerak-pesawat-terbang-0028

Jumat, 05 Juni 2015

Krisis dan peningkatan Perang Dingin (1953-1962)

Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi

 










Kekuatan tentara NATO dan Pakta Warsawa di Eropa pada tahun 1959.

Pada tahun 1953, perubahan dalam kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser dinamika Perang Dingin.Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden AS yang baru pada bulan Januari. 

Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman, anggaran pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.

Setelah kematian Joseph Stalin,
Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav Molotov

Pada tanggal 25 Februari 1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan Stalin. Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.

Sekretaris negara Eisenhower, John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look" sebagai strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya di masa perang. 

Dulles juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah pada tahun 1956.

Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria

 






Peta negara-negara Pakta Warsawa.

Setelah kematian Stalin pada tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai, meskipun situasi di Eropa tetap belum kondusif. Soviet, yang sudah membentuk jaringan perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur pada tahun 1949,juga membentuk suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu Pakta Warsawa pada tahun 1955.
 
Revolusi Hongaria 1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin Stalinis Hongaria Mátyás Rákosi. Sebagai tanggapan terhadap pemberontakan, rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. 

Tentara Soviet mulai menyerbu. Ribuan warga Hongaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet, dan lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hongaria. Pemimpin Hongaria Imre Nagy dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia.

Dari 1957 sampai 1961, Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan pemusnahan nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun, Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan bahwa tujuan barunya adalah untuk "hidup berdampingan secara damai".

Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan kelas internasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang global. Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi keruntuhannya sendiri, dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan kemampuan militer mereka, yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai munculnya era "pemikiran baru" Gorbachev.

Peristiwa di Hongaria melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa Barat, dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara Barat dan komunis merasa kecewa dengan respon brutal Soviet. Partai komunis di Barat tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hongaria dalam hal keanggotaan partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia Milovan Djilas, yang menyatakan bahwa: "luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hongaria terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh".

Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa

 











Wilayah-wilayah di dunia yang berada di bawah pengaruh Soviet setelah Revolusi Kuba tahun 1959 dan sebelum perpecahan Sino-Soviet tahun 1961.

Selama bulan November 1958, Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi "kota yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika Serikat, Britania, dan Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman Timur

Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong bahwa "Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin." NATO secara resmi menolak ultimatum ini pada pertengahan Desember dan Khrushchev menarik kembali ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.
 
Lebih luas lagi, salah satu ciri dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan militer Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan Barat.

Persaingan di Dunia Ketiga

Gerakan nasionalis di beberapa negara seperti Guatemala, Indonesia dan Indocina seringkali bersekutu dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat dibantu oleh komunis. Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin meningkatkan persaingan mereka untuk menyebarkan pengaruh dengan cara mencari proksi di Dunia Ketiga, dan ini bertepatan dengan momentum dekolonisasi pada tahun 1950-an dan awal 1960-an. Selain itu, Soviet terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.Kedua belah pihak mulai melakukan pengiriman dan penjualan senjata kepada negara-negara Dunia Ketiga untuk mendapatkan pengaruh.
 
Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup ke dalam pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu mereka. Pada tahun 1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax, sebuah operasi rahasia yang bertujuan untuk menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis Timur Tengah bagi Britania sejak ia menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil Company milik Britania pada tahun 1951. Winston Churchill mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih ke komunisme".

Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik jabatan sebagai monarki otokratik. Kebijakan Shah yang baru ini di antaranya melarang aktivitas partai komunis Tudeh dan penekanan perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan keamanan dan intelijen dalam negeri Shah.

Di Guatemala, sebuah kudeta militer yang didukung CIA berhasil menggulingkan presiden sayap kiri Jacobo Arbenz Guzmán pada tahun 1954. Pemerintah pasca-Arbenz yang dipimpin oleh Carlos Castillo Armas mengembalikan semua properti milik AS yang dinasionalisasi, membentuk Komite Nasional Pertahanan Melawan Komunisme, dan mendekritkan Hukum Pidana Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika Serikat.

Presiden Indonesia, Soekarno, yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada ancaman besar pada awal tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut otonomi dari Jakarta. Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk menyingkirkan mereka yang membangkang. 

Pada bulan Februari 1958, komandan militer di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Hussein) dan Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta, yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya dari Partai Masyumi seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang pertumbuhan pengaruh dari Partai Komunis Indonesia

Karena retorika anti-komunis mereka, pemberontakan mereka mendapat bantuan senjata, dana, dan bantuan lainnya dari CIA. Hal ini terbukti saat pesawat Amerika yang dipiloti oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambon pada bulan April 1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi militer lewat laut dan udara melalui Padang dan Manado. Pada akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan pemberontak yang tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961.

Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite pada tahun 1958 dan membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak dan Uni Soviet. Meskipun Partai Ba'ath yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim, AS mulai khawatir bahwa pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi berantai" di seluruh Timur Tengah. 

Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk alasan mereka sendiri, CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan beracun kepada Qasim (meskipun masih diperdebatkan). Setelah serangkaian kudeta, Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan dengan dukungan dari KGB, meskipun militer Irak juga melakukan kudeta.

 












Perangko Soviet tahun 1961 intuk memperingati Patrice Lumumba, perdana menteri Republik Kongo.

Di Republik Kongo, yang baru merdeka dari Belgia pada bulan Juni 1960, CIA menghasut presiden Joseph Kasa-Vubu untuk memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba dan membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September. Dalam Krisis Kongo yang terjadi setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara memobilisasi pasukannya untuk merebut kekuasaan melalui kudeta militer.

Di Guiana Britania, kandidat Partai Progresif Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan, memenangkan posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang diselenggarakan pada tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya setelah adanya suspensi dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan terhadap konstitusi negara tersebut. 

Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan yang diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan merekayasa perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya. Jagan lagi-lagi memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan politik Jagan telah teridentifikasi.

Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam, Perancis setuju untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi Jenewa, perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara yang pro-Soviet dan Vietnam Selatan yang pro-Barat. Antara tahun 1954 dan 1961, Amerika Serikat mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat militer untuk memperkuat rezim pro-Barat Vietnam Selatan dalam menghalangi upaya komunis yang berniat untuk mengacaukannya.

Banyak negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan untuk memihak salah satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia, puluhan negara Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin. Konsesus yang ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok yang bermarkas di Belgrade pada tahun 1961.

Sementara itu, Khrushchev memperluas kebijakan Moskow dengan menjalin hubungan dengan India dan negara-negara netral lainnya. Gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah tatanan dunia pasca-perang menjadi lebih pluralistik dengan diterapkannya dekolonisasi bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat nasionalisme juga meningkat di Asia dan Amerika Latin.

Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa

 








Diagram perkembangan Perlombaan Angkasa pada tahun 1957–1975.

Periode setelah 1956 ditandai dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya aliansi Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin ketika Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan menganggap pemimpin Soviet yang baru sebagai "pemula yang dangkal", Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi revolusioner. Sementara itu, Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang anti-perang nuklir, menyebut pemimpin Cina sebagai "orang yang gila takhta".

Setelah hal itu terjadi, Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali aliansi dengan Cina, namun Mao menolak setiap usulannya. Permusuhan Cina-Soviet ini akhirnya tumpah dalam perang propaganda intra-komunis.Selanjutnya, Soviet mulai berfokus pada persaingan sengit dengan Cina untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin gerakan komunis dunia.

Dilatardepani oleh senjata nuklir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk membangun persenjataan nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa mereka pergunakan untuk menyerang satu sama lain. Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil meluncurkan peluru kendali balistik antar benua pertama (ICBM), dan pada bulan Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi pertama, Sputnik

Peluncuran Sputnik ini menandai dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika Serikat. Persaingan ini memuncak dengan pendaratan Apollo di Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank Borman sebagai "pertempuran dalam Perang Dingin".

Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi

 












Fidel Castro (kanan) dan Che Guevara, 1961.

Hubungan diplomatik antara Kuba dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa waktu setelah kejatuhan Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota untuk menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro pada bulan April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon untuk mengadakan pertemuan dengan Castro di kediamannya. 

Eisenhower tidak yakin, apakah Castro seorang komunis atau bukan. Eisenhower juga menentang upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada Amerika Serikat.Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa Timur pada bulan Maret 1960.
 
Bulan Januari 1961, sesaat sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi memutuskan hubungan dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika yang baru terpilih, John F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau di Playa Girón dan Playa Larga di Provinsi Las Villas — kegagalan yang mempermalukan Amerika Serikat di mata dunia. Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-Leninisme, dan Soviet berjanji untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada Kuba.

Krisis Berlin 1961

Krisis Berlin 1961 adalah insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait dengan status Berlin dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an, pendekatan Soviet mengenai kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian besar negara Blok Timur lainnya.Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat setiap tahunnya melalui "celah" yang terdapat dalam sistem antara Berlin Timur dan Berlin Barat dan dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman Barat.

Emigrasi menyebabkan berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan profesional terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961. Pada bulan Juni, Uni Soviet mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin Barat. Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur mendirikan penghalang kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas hingga kelak membentuk Tembok Berlin, yang secara efektif menutup "celah" antara kedua wilayah tersebut.

Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev

 








Kapal P-2 milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang di atas sebuah kapal barang Soviet selama Krisis Rudal Kuba.

Setelah Invasi Teluk Babi, Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro, Kennedy dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi penggulingan pemerintahan Kuba. Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program rahasia bernama Proyek Kuba, yang dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.
 
Pada bulan Februari 1962, Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek Kuba" — disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah Kuba pada bulan Oktober, kemungkinan melibatkan militer Amerika — dan Kennedy mungkin memerintahkan operasi pembunuhan terhadap Castro. Sebagai respon, Soviet mempersiapkan pemasangan rudal nuklirnya di Kuba.

Khawatir, Kennedy memutuskan berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya menanggapi instalasi rudal nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan memberikan ultimatum kepada Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet membongkar rudalnya dengan imbalan janji Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.
Krisis Rudal Kuba (Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang nuklir daripada sebelumnya.

Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep saling meyakinkan akan bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya tidak siap untuk menggunakan senjata nuklir mereka, takut akan adanya kehancuran global total karena saling balas dendam. 

Dampak dari krisis ini menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan senjata nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan, meskipun upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.

Tahun 1964, rekan Kremlin Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap mengijinkannya untuk pensiun dengan damai. Khrushchev dituduh memerintah dengan kasar dan inkompetensi, dia juga dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan membawa dunia ke ambang perang nuklir. Khrushchev juga dikatakan telah mempermalukan dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan Tembok Berlin, yang dianggap sebagai sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme.

Sumber :Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar