Kekuatan pasukan NATO dan Pakta Warsawa di Eropa tahun 1973.
Pada periode 1960-an dan 1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola baru hubungan internasional yang lebih rumit, dunia tidak lagi dibagi menjadi dua blok besar yang bertentangan.
Dari awal periode pasca-perang, Eropa Barat dan Jepang
dengan cepat pulih dari kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami
pertumbuhan ekonomi yang kuat sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an,
dengan PDB per kapita yang hampir mendekati Amerika Serikat, sedangkan perekonomian Blok Timur mengalami stagnasi.
Sebagai akibat dari krisis minyak 1973,
dikombinasikan dengan semakin kuatnya pengaruh Dunia Ketiga dengan mendirikan organisasi-organisasi seperti Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok,
negara-negara Dunia Ketiga memiliki lebih banyak ruang untuk
memproklamirkan kemerdekaan mereka dan semakin menunjukkan bahwa mereka
tahan banting terhadap tekanan dari negara adidaya. Sementara itu, Soviet dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya pada isu-isu internal seperti permasalahan ekonomi di dalam negeri. Selama periode ini, pemimpin Soviet seperti Leonid Brezhnev dan Alexei Kosygin mulai menerapkan pendekatan détente.Pengunduran diri Perancis dari NATO
Karena respon yang diberikan tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal nuklir
Perancis secara independen dan pada tahun 1966, Perancis mengundurkan
diri dari NATO, diikuti dengan pengusiran semua pasukan NATO dari
daratan Perancis.
Invasi Cekoslowakia
Sebagai jawaban atas aksi Musim Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar sekutu Pakta Waesawa mereka, menyerbu Cekoslowakia. Invasi ini diikuti oleh gelombang emigrasi, sekitar 70.000 warga Ceko
dan Slowakia melarikan diri, dan total akhirnya mencapai 300.000 jiwa. Invasi ini memicu protes keras dari Yugoslavia, Rumania, Cina, dan juga dari partai-partai komunis di Eropa Barat.
Krisis di Dunia Ketiga
Meskipun Balaguer mendapat dukungan dari sektor-sektor elit dan kelompok petani, lawan politiknya dari partai PRD, mantan presiden Juan Bosch, tidak aktif berkampanye. Aktivis PRD dilumpuhkan dengan kekerasan oleh polisi Dominika dan angkatan bersenjata.
Di Indonesia, anti-komunis garis keras Jenderal Soeharto meraih kendali pemerintahan dari pendahulunya, Soekarno, dan kemudian mulai membangun "Orde Baru". Dari tahun 1965 sampai 1966, militer Indonesia melakukan pembunuhan massal terhadap sekitar setengah juta anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia serta organisasi-organisasi sayap kiri lainnya.
Meningkatnya konflik yang sedang berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan Ngô Đình Diệm dengan komunis Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat Johnson mengirimkan 575.000 tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF dan sekutu Vietnam Utara mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan banyak biaya dan melemahkan perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini memuncak dengan kegagalan Amerika Serikat.
Dunia memandang peristiwa ini sebagai kekalahan memalukan bagi sebuah negara adidaya yang paling kuat di tangan salah satu negara termiskin dunia. Vietnam Utara menerima persetujuan Soviet untuk memulai perang pada tahun 1959. Uni Soviet mengirimkan 15.000 penasihat militer dan bantuan dana sebesar $ 450 juta kepada Vietnam Utara selama perang, sedangkan Cina mengirimkan 320.000 tentara dan bantuan dana senilai $180 juta.
Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende memenangkan pemilihan presiden tahun 1970, menjadi Marxis terpilih demokratis pertama yang menjadi presiden di negara-negara Amerika. Jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada tanggal 11 September 1973 dan dengan cepat mengambil alih semua kekuasaan politik menjadi kediktatoran militer, tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende ekonomi diurungkan dan lawan sayap kiri tewas atau ditahan di kamp-kamp interniran di bawah arahan dari Dirección de Inteligencia Nacional (DINA).
Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan — yang digunakan oleh para diktator di Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Paraguay untuk menekan perbedaan pendapat dengan sayap kiri — juga mendapat dukungan dari Amerika Serikat, dan (kadang-kadang akurat) diperkirakan juga terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan oposisi tersebut.
Amerika Serikat juga tidak senang saat Jamaika mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemerintah Kuba setelah pemilihan Michael Manley pada tahun 1972. Amerika Serikat meresponnya dengan mendanai lawan-lawan politik Manley, mendorong pemberontakan dalam tubuh tentara Jamaika, dan menyewa tentara bayaran untuk menentang pemerintahan Manley. Kekerasan pun terjadi.
Situasi di Timur Tengah terus menjadi sumber persengketaan. Mesir, yang menerima banyak bantuan senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet, adalah klien Soviet yang merepotkan. Dengan terpaksa, Uni Soviet berkewajiban untuk membantu Mesir dalam Perang Enam Hari (dengan mengirimkan penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi (dengan mengirimkan pilot dan pesawat) untuk melawan Israel yang pro-Barat.
Di samping pembelotan Mesir, dari yang sebelumnya pro-Soviet menjadi pro-Amerika pada tahun 1972 (dibawah kepemimpinan Anwar El Sadat),rumor mengenai intervensi Soviet dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973 menyebabkan terjadinya pengiriman tentara Amerika besar-besaran dan mengancam akan menghancurkan détente.
Meskipun pada era pra-Sadat Mesir merupakan penerima bantuan terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga sukses menjalin hubungan erat dengan komunis di Yaman Selatan, serta pemerintahan nasionalis Aljazair dan Irak. Soviet secara langsung memihak dan membantu Palestina dalam menghadapi konflik dengan Israel, termasuk dukungan untuk Yasser Arafat dan Organisasi Pembebasan Palestina.
Dari tahun 1973-1975, CIA berkolusi dengan pemerintah Iran untuk membiayai dan mempersenjatai pemberontak Kurdi dalam Perang Irak–Kurdi Kedua dengan tujuan untuk melumpuhkan pemimpin Irak Ahmed Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak menandatangani Perjanjian Aljazair pada tahun 1975, dukungan untuk Iran pun juga turut berhenti.
Di Afrika, militer Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak berdarah pada tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham sosialis. Uni Soviet berjanji untuk mendukung Somalia.
Empat tahun kemudian, Kaisar Ethiopia Haile Selassie yang pro-Amerika digulingkan dalam kudeta tahun 1974 oleh kelompok Derg, sebuah kelompok militer radikal pro-Soviet yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam.
Mariem menjalin hubungan dengan Kuba dan Soviet. Saat peperangan antara Somalia dan Ethiopia pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan dukungan Soviet dan kemudian bersekutu dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba juga berperan dalam perang ini dengan memihak Ethiopia.
Revolusi Anyelir di Portugis pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo membuat Portugis kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan koloni Portugis di Angola dan Timor Timur. Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan perang kemerdekaan multi-faksi menentang kekuasaan Portugis sejak tahun 1961, setelah perang ini usai, perang dua dasawarsa menggantikan perang anti-kolonial, yang ditandai dengan peperangan antara komunis Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA), yang didukung oleh Kuba dan Soviet, dengan Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA), yang didukung oleh Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di Zaire. AS, pemerintahan apartheid Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya juga mendukung faksi ketiga, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Penuh Angola (UNITA). Tanpa berkonsultasi dengan Soviet, Kuba mengirimkan tentaranya untuk berjuang bersama MPLA. Pemerintah apartheid Afrika Selatan juga mengirimkan tentara untuk membantu UNITA, namun MPLA berada di atas tangan karena didukung oleh Kuba dan Soviet.
Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dari Portugis di bawah sayap kiri Fretilin pada bulan November 1975. Dengan dukungan dari Australia dan Amerika Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur pada bulan Desember — yang memulai pendudukan Indonesia di Timor Timur selama seperempat abad.
Selama Perang Vietnam, Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk digunakan sebagai pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang Saudara Kamboja antara pemerintah pro-Amerika Lon Nol dan pemberontak Maoist Khmer Merah. Dokumen yang ditemukan dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan atas permintaan dari Khmer Merah setelah bernegosiasi dengan Nuon Chea. AS dan Vietnam Selatan menanggapinya dengan melancarkan kampanye pemboman dan serangan darat, efek dari operasi ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Di bawah kepemimpinan Pol Pot, Khmer Merah membantai 1-3 juta, dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang pembantaian. Sosiolog Martin Shaw menggambarkan kekejaman ini sebagai "genosida paling murni dari era Perang Dingin". Vietnam menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979 dan membentuk pemerintah boneka di bawah pimpinan Heng Samrin.
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar