animasi-bergerak-pesawat-terbang-0028

Rabu, 10 Juni 2015

"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)

Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang Dingin dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Ketegangan sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya menjadi lebih ter-militeristik. Diggins mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya untuk berjuang dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan mendukung kontra-pemberontakan di Dunia Ketiga." Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat durasinya yang singkat."

Perang Soviet-Afganistan

 

 

 

 

Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan komunis merebut kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan,
penentang pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang dengan cepat berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan tentara pemerintah.

Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat pelatihan rahasia, sedangkan Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung pemerintahan PDPA. Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di PDPA – faksi Khalq yang dominan dan Parcham yang lebih moderat  – menyebabkan pemberhentian anggota kabinet dan penangkapan perwira militer Parchami dengan dalih kudeta terhadap Parchami. 

Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai sebuah program rahasia untuk membantu mujahidin.Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah kudeta PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin, yang kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan Desember 1979. 

Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di bawah pimpinan Babrak Karmal, mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan untuk menstabilkan Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka Soviet. Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang domestik di Afganistan.

Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa tindakan Soviet merupakan "ancaman yang paling serius terhadap perdamaian selama Perang Dingin Kedua".

Gerakan Solidaritas dan darurat militer di Polandia

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia, pada tahun 1979 telah mendorong kebangkitan spiritual dan nasionalis yang memicu lahirnya gerakan solidaritas dan semangat anti-komunisme. Hal ini diperkirakan merupakan penyebab dilakukannya upaya pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.

Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di Polandia dengan memberlakukan masa darurat militer. Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Polandia. Mikhail Suslov, ideolog top di Kremlin, menyarankan agar pemimpin Soviet tidak campur tangan jika Polandia jatuh di bawah kendali gerakan Solidaritas, karena takut hal itu akan menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi, yang berarti akan menjadi malapetaka bagi perekonomian Soviet.

Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS

 

 

 

 

Perbandingan stok senjata nuklir AS dan Soviet/Rusia, 1945–2006

Moskow telah membangun sumber daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk nasional bruto Uni Soviet, dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di sektor sipil.

Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan kompetisi Perang Dingin lainnya semakin diperparah oleh masalah struktural dalam sistem perekonomian Soviet, yang mengalami stagnasi ekonomi selama satu dekade dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Brezhnev. 

Investasi Soviet dalam sektor pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun sebagian besar untuk mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang bergantung pada sektor militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa mereka.

 Militer Uni Soviet merupakan militer terbesar di dunia dalam hal jumlah dan jenis senjata, jumlah tentara, dan jumlah pangkalan militer yang mereka miliki. Namun, keuntungan kuantitatif yang dipegang oleh militer Soviet seringkali dirahasiakan keberadaannya, sehingga Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat. 

 

 

 

 

Pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 (biru) dan Olimpiade Los Angeles 1984 (merah).

Pada awal 1980-an, Uni Soviet telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang melebihi Amerika Serikat. Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter memulai pembangunan besar-besaran militer Amerika Serikat. 

Upaya ini semakin diintensifkan oleh pemerintahan Reagan, yang meningkatkan pengeluaran militer dari 5,3 persen/total GNP pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada tahun 1986,jumlah anggaran militer terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.


Ketegangan terus meningkat pada awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali program B-1 Lancer yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Carter, memproduksi LGM-118 Peacekeeper, menginstal rudal jelajah AS di Eropa, dan mengumumkan program eksperimental Strategi Inisiatif Pertahanan, yang dijuluki "Star Wars" oleh media, yaitu program pertahanan untuk menembak jatuh rudal musuh di tengah-tengah penerbangannya.


Dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta dipasangnya rudal balistik RSD-10 Pioneer milik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat, NATO memutuskan – di bawah dorongan dari Presiden Carter – untuk menginstal rudal jelajah dan MGM-31 Pershing milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman Barat. Rudal-rudal ini ditempatkan dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit dari Moskow.


Setelah pembangunan militer Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan mengembangkan sumber daya militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet sudah sangat besar. Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya pembangunan dalam sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi beban berat bagi perekonomian Soviet. 

Di saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab Saudi meningkat, bahkan produksi minyak di negara-negara non-OPEC juga meningkat pada periode tersebut, termasuk Soviet. Perkembangan ini memberikan kontribusi terhadap fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni Soviet. Minyak mulai menjadi sumber utama pendapatan ekspor Soviet. Namun, permasalahan perekonomian komando, turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer yang tetap besar secara bertahap membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi.


Pada tanggal 1 September 1983, Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007, pesawat Boeing 747 yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry McDonald. Pesawat itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati pantai barat Pulau Sakhalin, di dekat Kepulauan Moneron —tindakan yang oleh Reagan dianggap sebagai "pembantaian". 

Tindakan Soviet ini semakin meningkatkan dukungan bagi AS supaya segera menerjukan militernya. NATO mengadakan latihan militer Able Archer 83 pada bulan November 1983, yang merupakan simulasi peluncuran nuklir secara nyata. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya bagi dunia sejak Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962. Setelah pemimpin Soviet memahami maksud dari latihan militer tersebut, maka diputuskan bahwa perang nuklir semakin dekat.

Ketidaksetujuan publik AS mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah berlangsung sejak akhir Perang Vietnam.Pemerintahan Reagan menekankan taktik kontra-pemberontakan dan penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik asing.

Pada tahun 1983, pemerintahan Reagan ikut campur tangan dalam Perang Saudara Lebanon, menginvasi Grenada, membom Libya, dan mendukung gerakan Contras di Amerika Tengah – paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan pemerintahan pro-Soviet Sandinista di Nikaragua. Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya mendapat dukungan dari publik AS, namun dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.

Sementara itu, Soviet sendiri mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi mereka terhadap asing. Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-Afganistan akan berlangsung singkat, gerilyawan Muslim, yang dibantu oleh AS dan negara-negara lainnya, mengobarkan perlawanan sengit terhadap invasi tersebut. 

Kremlin mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk mendukung rezim boneka di Afganistan, yang dijuluki oleh para pengamat luar dengan "perang 'Vietnam'-nya Soviet". Namun, dampak perang Afganistan ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang Vietnam bagi Amerika Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis internal dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.

Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS memprediksikan pada awal 1980-an, ia menyatakan bahwa "invasi yang mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin itu adalah hukum termodinamika entropi... yang terjebak dengan sistem Soviet, yang sekarang tampaknya lebih banyak mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya ketimbang untuk memperbaikinya. Kita bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat mengalami keruntuhan internal".

Sumber : Wikipedia


 

 

 

 

2 komentar: